STRATEGI
BELAJAR MENGAJAR
KONSEP
STRATEGI BELAJAR MENGAJAR
Disusun
Oleh:
Arum Wahyuningtias (8105120474)
Aulia Rachmawati (8105123285)
Siti Nurlaela (8105123348)
Zelin Yasti Ningsih (8105123337)
PENDIDIKAN ADMINISTRASI
PERKANTORAN REGULER 2012
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI
JAKARTA
2015
A.
Pengertian Strategi Belajar Mengajar
Secara bahasa strategi dapat diartikan
sebagai siasat, kiat, trik, atau cara. Sedangkan secara umum strategi adalah
suatu garis besar haluan dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan.
Adapun strategi belajar mengajar dapat
diartikan sebagai pola umum kegiatan guru-murid dalam perwujudan kegiatan
belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. Atau dengan kata
lain, strategi belajar mengajar merupakan sejumlah langkah yang direkayasa
sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu.
Menurut Mansyur (1991), batasan belajar
mengajar yang bersifat umum mempunyai empat dasar strategi, yaitu:
1. Mengidentifikasi
serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku dan
kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan.
2. Memilih
sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup
masyarakat.
3. Memilih dan
menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling
tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru dalam menunaikan
kegiatan mengajamya.
4. Menetapkan
norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar
keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melakukan
evaluasi hasil kegiatan belajar mengajar yang selanjutnya akan dijadikan umpan
balik buat penyempumaan sistem instruksional yang bersangkutan secara
keseluruhan.
Dari uraian di atas tergambar bahwa ada empat masalah pokok yang sangat
penting yang dapat dan harus dijadikan pedoman buat pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar agar berhasil sesuai dengan yang diharapkan.
Pertama, spesifikasi
dan kualifikasi perubahan tingkah laku yang bagaimana diinginkan sebagai hasil
belajar mengajar yang dilakukan itu. Di sini terlihat apa yang dijadikan
sebagai sasaran dari kegiatan belajar mengajar. Sasaran yang dituju harus jelas
dan terarah. Oleh karena itu, tujuan pengajaran yang dirumuskan harus jelas dan
konkret, sehingga mudah dipahami oleh anak didik. Bila tidak, maka kegiatan
belajar mengajar tidak punya arah dan tujuan yang pasti. Akibat selanjutnya
perubahan yang diharapkan terjadi pada anak didik pun sukar diketahui, karena
penyimpangan-penyimpangan dari kegiatan belajar mengajar. Karena itu, rumusan
tujuan yang operasional dalam belajar mengajar mutlak dilakukan oleh guru
sebelum melakukan tugasnya di sekolah.
Kedua, memilih cara pendekatan belajar
mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif untuk mencapai sasaran.
Bagaimana cara guru memandang suatu persoalan, konsep, pengertian dan teori apa
yang guru gunakan dalam memecahkan suatu kasus, akan mempengaruhi hasilnya.
Satu masalah yang dipelajari oleh dua orang dengan pendekatan yang berbeda,
akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak sama. Norma-norma sosial
seperti baik, benar, adil, dan sebagainya akan melahirkan kesimpulan yang
berbeda dan bahkan mungkin bertentangan bila dalam cara pendekatannya
menggunakan berbagai disiplin ilmu. Pengertian konsep dan teori ekonomi tentang
baik, benar atau adil, tidak sama dengan baik, benar atau adil menurut
pengertian konsep dan teori antropologi. Juga akan tidak sama apa yang
dikatakan baik, benar atau adiI kalau seseorang guru menggunakan pendekatan
agama, karena pengertian konsep dan teori agama mengenai baik, benar atau adil
itu jelas berbeda dengan konsep ekonomi maupun antropologi. Begitu juga halnya
dengan cara pendekatan yang digunakan terhadap kegiatan belajar mengajar.
Belajar menurut Teori Asosiasi, tidak sama dengan pengertian belajar menurut
Teori Problem Solving. Suatu topik tertentu dipelajari atau dibahas dengan cara
menghapal, akan berbeda hasilnya kalau dipelajari atau dibahas dengan teknik
diskusi atau seminar. Juga akan lain hasilnya andaikata topik yang sama dibahas
dengan menggunakan kombinasi berbagai teori.
Ketiga, memilih dan menetapkan prosedur,
metode, dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif.
Metode atau teknik penyajian untuk memotivikasi anak didik agar mampu
menerapkan pengetahuan dan pengalamannya untuk memecahkan masalah, berbeda
dengan cara atau metode supaya anak didik terdorong dan mampu berpikir bebas
dan cukup keberanian untuk mengemukakan pendapatnya sendiri. Perlu dipahami
bahwa suatu metode mungkin hanya cocok dipakai untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Jadi dengan sasaran yang berbeda, guru hendaknya jangan menggunakan
teknik penyajian yang sama. Bila beberapa tujuan ingin diperoleh, maka guru
dituntut untuk memiliki kemampuan tentang penggunaan berbagai metode atau
mengombinasikan beberapa metode yang relevan. Cara penyajian yang satu mungkin
lebih menekankan kepada peranan anak didik, sementara teknik penyajian yang
lain lebih terfokus kepada peranan guru atau alat-alat pengajaran seperti buku,
atau mesin komputer misalnya. Ada pula metode yang lebih berhasil bila dipakai
buat anak didik dalam jumlah yang terbatas, atau cocok untuk mempelajari materi
tertentu. Demikian juga bila kegiatan belajar mengajar berlangsung di dalam
kelas, di perpustakaan, di laboratorium, di mesjid, atau di kebun, tentu metode
yang diperlukan agar tujuan tercapai. Untuk masing-masing tempat seperti itu
tidak sama. Tujuan instruksional yang ingin dicapai tidak selalu tunggal, bisa
jadi terdiri dari beberapa tujuan atau sasaran. Untuk itu guru membutuhkan
variasi dalam penggunaan teknik penyajian supaya kegiatan belajar mengajar yang
berlangsung tidak membosankan.
Keempat, menerapkan
norma-norma atau kriteria keberhasilan sehingga guru mempunyai pegangan yang
dapat dijadikan ukuran untuk menilai sampai sejauh mana keberhasilan
tugas-tugas yang telah dilakukannya. Suatu program baru bisa diketahui
keberhasilannya, setelah dilakukan evaluasi. Sistem penilaian dalam kegiatan
belajar mengajar merupakan salah satu strategi yang tidak bisa dipisahkan
dengan strategi dasar yang lain.
Apa yang harus dinilai, dan bagaimana penilaian itu harus dilakukan
termasuk kemampuan yang harus dimiliki oleh guru. Seorang anak didik dapat
dikategorikan sebagai anak didik yang berhasil, bisa dilihat dari berbagai segi.
Bisa dilihat dari segi kerajinannya mengikuti tatap muka dengan guru, perilaku
sehari-hari di sekolah, hasil ulangan, hubungan sosial, kepemimpinan, prestasi
olahraga, keterampilan, dan sebagainya. Atau dapat pula dilihat dari gabungan
berbagai aspek.
B.
Klasifikasi Strategi Belajar Mengajar
Menurut Tabrani Rusyan, dkk. terdapat
berbagai masalah sehubungan dengan strategi belajar mengajar yang secara
keseluruhan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Konsep Dasar Strategi Belajar Mengajar
Konsep dasar strategi
belajar mengajar meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Menetapkan
spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku.
b. Menentukan
pilihan berkenaan dengan pendekatan terhadap masalah belajar mengajar.
c. Memilih
prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar.
d. Menetapkan
norma dan kriteria keberhasilan kegiatan belajar mengajar.
2. Sasaran Kegiatan Belajar Mengajar
Setiap kegiatan belajar mengajar
mempunyai sasaran atau tujuan. Tujuan tersebut bertahap dan berjenjang mulai
dari yang sangat operasional dan konkret, yakni tujuan instruksional khusus dan
tujuan instruksional umum, tujuan kurikuler, tujuan nasional, sampai kepada
tujuan yang bersifat universal.
Persepsi
guru atau persepsi anak didik mengenai sasaran akhir kegiatan belajar mengajar
akan mempengaruhi persepsi mereka terhadap sasaran-antara serta
sasaran-kegiatan. Sasaran itu harus diterjemahkan ke dalam ciri-ciri perilaku
kepribadian yang didambakan. Pada tingkat sasaran atau tujuan yang universal,
manusia yang diidamkan tersebut harus memiliki kualifikasi: a) pengembangan
bakat secara optimal, b) hubungan antarmanusia, c) efisiensi ekonomi, dan d)
tanggung jawab selaku warga negara. Pandangan hidup para guru maupun anak didik
akan turut mewamai berkenaan dengan gambaran karakteristik sasaran manusia idaman.
Konsekuensinya akan mempengaruhijuga kebijakan tentang perencanaan,
pengorganisasian, serta penilaian terhadap kegiatan belajar mengajar,
3. Belajar Mengajar sebagai Suatu Sistem
Sistem merupakan seperangkat komponen yang saling
bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan. Belajar mengajar dikatakan
sebagai suatu sistem berarti bahwa terdapat berbagai komponen yang saling
bergantung satu sama lain dalam proses belajar mengajar tersebut, seperti
tujuan, bahan, siswa, guru, metode, situasi, dan evaluasi. Agar tujuan tersebut
tercapai, maka semua komponen yang ada harus diorganisasikan dengan baik
sehingga antara komponen satu dengan komponen lainnya dapat terjalin kerja
sama. Karena itu, guru tidak boleh hanya memperhatikan
komponen-komponen tertentu saja misalnya metode, bahan, dan evaluasi saja,
tetapi ia harus mempertimbangkan komponen secara keseluruhan.
Berbagai persoalan yang biasa dihadapi oleh guru antara lain adalah:
a)
Tujuan-tujuan apa yang mau dicapai.
b)
Materi pelajaran apa yang
diperlukan.
c)
Metode, alat mana yang harus
dipakai.
d)
Prosedur apa yang akan ditempuh
untuk melakukan evaluasi.
Secara khusus dalam proses belajar mengajar guru
berperan sebagai pengajar, pembimbing, perantara sekolah dengan masyarakat,
administrator, dan lain-lain. Untuk itu wajar bila guru memahami dengan segenap
aspek pribadi anak didik seperti:
1)
Kecerdasan dan bakat khusus.
2)
Prestasi sejak permulaan sekolah.
3)
Perkembangan jasmani dan
kesehatannya.
4)
Keeenderungan emosi dan karaktemya.
5)
Sikap dan minat belajar.
6)
Cita-cita.
7)
Kebiasaan belajar dan bekerja.
8)
Hobi dan penggunaan waktu senggang.
9)
Hubungan sosial di sekolah dan di
rumah.
10) Latar
belakang keluarga.
11) Lingkungan
tempat tinggal.
12) Sifat-sifat
khusus dan kesulitan anak didik.
Usaha untuk memahami anak didik ini bisa dilakukan melalui
evauasi. Selain itu, guru mempunyai keharusan melaporkan perkembangan hasil
belajar para siswa kepada kepala sekolah, orang tua, dan instansi yang terkait.
4. Hakikat Proses Belajar Mengajar
Menurut M. Sobry Sutikno dalam bukunya Menuju Pendidikan Bermutu (2004),
mengartikan belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan yang baru sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya. Sedangkan menurut C.T. Morgan dalam bukunya Introducing to Psychology (1962)
merumuskan belajar sebagai suatu perubahan yang relatif dalam menetapkan
tingkah laku sebagai akibat atau hasil dari pengalaman yang baru.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa belajar pada hakikatnya adalah “perubahan” yang terjadi di dalam diri
seseorang setelah melakukan aktivitas tertentu. Dalam belajar yang terpenting
adalah proses bukan hasil yang diperolehnya. Artinya, belajar harus diperoleh
dengan usaha sendiri, adapun orang lain itu hanya sebagai perantara atau
penunjang dalam kegiatan belajar agar belajar itu dapat berhasil dengan baik.
Sedangkan mengajar merupakan suatu
proses yang kompleks. Tidak hanya sekedar menyampaikan informasi dari guru
kepada siswa saja, melainkan banyak kegiatan maupun tindakan yang harus
dilakukan (Muhammad Ali, 1992).
Bohar Suharto (1997) mendefinisikan
mengajar sebagai suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur (mengelola)
lingkungan sehingga tercipta suasana yang sebaik-baiknya dan menghubungkannya
dengan peserta didik sehingga terjadi proses belajar yang menyenangkan.
Sementara Oemar Hamalik (1992) mendefinisikan mengajar sebagai proses
menyampaikan pengetahuan dan kecakapan kepada siswa. Dalam pengertian yang
lain, juga dijelaskan bahwa mengajar adalah suatu aktivitas profesional yang
memerlukan keterampilan tingkat tinggi dan menyangkut pengambilan keputusan
(Davies, 1991).
Jadi dalam keseluruhan proses
pendidikan, kegiatan belajar dan mengajar merupakan kegiatan yang paling pokok.
Hal ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak
bergantung kepada bagaimana proses belajar mengajar dirancang dan dijalankan
secara profesional. Kegiatan belajar mengajar seperti mengorganisasi
pengalaman belajar, mengolah kegiatan belajar mengajar, menilai proses, dan
hasil belajar, kesemuanya termasuk dalam cakupan tanggungjawab guru.
5. Entering Behavior Siswa
Hasil kegiatan belajar mengajar
tercermin dalam perubahan perilaku, baik secara material-subtansial,
struktural-fungsional, maupun secara behavior. Yang dipersoalkan adalah
kepastian bahwa tingkat prestasi yang dicapai siswa itu apakah benar merupakan
hasil kegiatan belajar mengajar yang bersangkutan. Untuk kepastiannya
seharusnya guru mengetahui tentang karakteristik perilaku anak didik saat
mereka mau masuk sekolah dan mulai dengan kegiatan belajar mengajar
dilangsungkan, tingkat dan jenis karakteristik perilaku anak didik yang telah
dimilikinya ketika mau mengikuti kegiatan belajar mengajar. Itulah yang
dimaksudkan dengan entering behavior siswa.
Menurut Abin Syamsudin, entering
behavior dapat diidentifikasikan dengan cara:
a. Secara
tradisional, yaitu guru memberikan sejumlah pertaanyaan kepada peserta didik
mengenai bahan yang pernah diberikan sebelum menyajikan bahan baru.
b. Secara
inovatif, yaitu guru memberikan pre-test kepada peserta didik sebelum memulai
program belajar mengajar.
Gambaran tentang entering behavior ini
dapat membantu guru dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Mengetahui
seberapa jauh kesamaan individual siswa dalam taraf kesiapannya (readiness), kematangan (maturation), serta tingkat penguasaan
(matery) pengetahuan serta keterampilan dasar.
b. Guru dapat
memilih bahan, prosedur, metode, teknik, serta alat bantu belajar mengajar yang
sesuai.
c. Guru dapat
mengetahui seberapa jauh dan seberapa banyak perubahan perilaku peserta didik
dengan membandingkan nilai pre-test dengan nilai-nilai hasil pasca-test.
Ada tiga dimensi dari entering behavior yang perlu
diketahui oleh guru:
a.
Batas-batas ruang lingkup materi
pengetahuan yang telah dimiliki dan dikuasai oleh siswa.
b.
Tingkatan tahapan materi
pengetahuan, terutama kawasan pola-pola sambutan atau kemampuan yang telah
dimiliki siswa.
c.
Kesiapan dan kematangan
fungsi-fungsi psikofisik. Sebelum merencanakan dan melaksanakan kegiatan
mengajar, guru harus dapat menjawab pertanyaan
6. Pola-pola Belajar Siswa
Robert M. Gagne membedakan pola-pola
belajar siswa ke dalam delapan tipe, di mana yang satu merupakan prasarat bagi
lainnya yang lebih tinggi hierarkinya. Tipe-tipe belajar tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Belajar Tipe 1: Signal Learning (Belajar Isyarat)
Belajar tipe ini merupakan tahap yang
paling dasar. Sehingga tidak menuntut persyaratan, namun merupakan hierarki
yang harus dilalui untuk tipe belajar yang paling tinggi. Signal Learning
merupakan proses penguasaan pola-pola dasar perilaku yang bersifat involuntary (tidak sengaja dan tidak
disadari tujuannya). Dalam tipe ini melibatkan aspek emosional di dalamnya,
seperti diberikannya stimulus (signal) tertentu sehingga peserta didik dapat
merespons signal tersebut. Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar
ini telah diberikannya secara serempak dan berulang kali.
b. Belajar Tipe 2: Stimulus Respons Learning (Belajar Stimulus Respons)
Bila tipe di
atas dapat digolongkan dalam jenis classical condition, maka tipe belajar 2 ini termasuk
ke dalam instrumental
conditioning (Kimble-1961) atau belajar dengan trial and error. Menurut Gagne, proses
belajar bahasa pada anak-anak merupakan proses yang serupa dengan ini. Dalam tipe
belajar ini memerlukan kondisi inforcement. Waktu antara simulus pertama dan
berikutnya amat penting. Semakin singkat jarak S-R dengan S-R berikutnya,
semakin kuat reinforcementnya.
c. Belajar Tipe 3: Chaining (Rantai atau Rangkaian)
Chainning adalah belajar menhubungkan
satuan ikatan S-R (Stimulus-Respons)
yang satu dengan yang lain. Kondisi yang diperlukan dalam berlangsungnya tipe
belajar ini antara lain, secara internal anak didik sudah harus terkuasai
sejumlah satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Selain itu prinsip
kesinambungan , pengulangan, dan reinforcement juga penting. Chainning terjadi
bila terbentuk hubungan antara beberapa S-R, sebab yang satu terjadi segera
setelah yang satu lagi. Contoh dalam bahasa kita sering menggunakan rangkaian
kata seperti selamat-tinggal,
kampung-halaman, makan malam, dan sebagainya.
d. Belajar Tipe 4: Verbal Assosiation (Asosiasi Verba)
Belajar tipe ini setaraf dengan belajar
tipe chainning, yaitu sama-sama menghubungkan satuan ikatan S-R yang satu
dengan yang lain.
e. Belajar Tipe 5: Discrimination Learning (Belajar Diskriminasi)
Discrimination learning atau belajar
mengadakan pembeda. Dalam tipe ini anak didik mengadakan seleksi dan pengujian
di antara dua perangsang atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian
memilih pola-pola respons yang dianggap paling sesuai. Kondisi utama dalam berlangsungnya proses belajar ini adalah siswa
rnempunyai kemahiran melakukan chaining dan association serta pengalaman (pola S-R).
f. Belajar Tipe 6: Concept Learning (Belajar Konsep)
Concept learning adalah belajar pengertian.
Dengan berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari sekumpulan stimulus dan
objek-objeknya, maka dapat membentuk suatu pengertian atau konsep, kondisi
utama yang diperlukan adalah menguasai kemahiran diskriminasi dan proses
kognitif fundamental berikutnya. Proses ini memakan waktu dan berlangsung
secara berangsur-angsur.
g. Belajar Tipe 7: Rule Learning (Belajar Aturan)
Pada tingkat
ini, siswa belajar mengadakan kombinasi berbagai konsep dengan rnengoperasikan
kaidah-kaidah logika formal (induktif, deduktif, analisis, sintesis, asosiasi,
diferensiasi, komparasi, dan kausalitas) sehingga anak didik dapat menemukan
kesimpulan tertentu yang mungkin selanjutnya dapat dipandang sebagai aturan:
prinsip, dalil, aturan, hukum, kaidah dan sebagainya. Misalnya benda
yang dipanaskan memuai, angin berhembus dari daerah maksimum ke daerah minimum,
dan sebagainya. Kondisi yang memungkinkan
terjadinya proses belajar seperti ini, disarankan:
a)
Kepada anak didik diberitahukan
bentuk perbuatan yang diharapkan, kalau yang bersangkutan telah menjalani
proses belajar.
b)
Kepada anak didik diberikan
sejumlah pertanyaan yang merangsang,mengingatkan (recall) konsep-konsep yang telah dipelajari dan dimilikinya
untuk mengungkapkan perbendaharaan pengetahuannya.
c)
Kepada anak didik mereka
diberikan beberapa kata kunci yang menyarankan siswa ke arah pembentukan kaidah
tertentu yang diharapkan.
d)
Diberikan kesempatan kepada anak
didik untuk mengekspresikan dan menyatakan kaidah tersebut dengan kata-katanya
sendiri.
e)
Kepada anak didik diberikan
kesempatan selanjutnya untuk menyusun rumusan rule tersebut dalam bentuk statement formal.
h. Belajar Tipe 8: Problem Solving (Pemecahan Masalah)
Problem solving adalah belajar
memecahkan masalah. Pada tingkat ini peserta didik merumuskan dan memecahkan
masalah, memberikan respons terhadap rangsangan yang menggambarkan atau
membangkitkan situasi problematik, dengan mempergunakan berbagai kaidah yang
telah dikuasainya. Menurut John Dewey belajar
memecahkan masalah ini berlangsung sebagai berikut: individu menyadari masalah
bila dia dihadapkan pada situasi keraguan dan kekaburan sehingga merasakan
adanya kesulitan.
a)
Merumuskan
dan menegaskan masalah.
Individu melokalisasi letak
sumber kesulitan tersebut untuk memungkinkan mencari jalan pemecahannya. Ia
menandai aspek mana yang mungkin dipecahkan dengan menggunakan prinsip yang
diketahuinya sebagai pegangan.
b)
Mencari
fakta pendukung dan merumuskan hipotesis.
Individu menghimpun berbagai
informasi yang relevan, termasuk pengalaman orang lain dalam
menghadapi pemecahan masalah yang serupa. Kemudian mengindentifikasi berbagai
alternatif (kemungkinan) pemecahannya yang dapat dirumuskan sebagai jawaban
sementara.
c)
Mengevaluasi
alternatif pemecahan yang dikembangkan.
Setiap alternatif pemecahan ditimbang dari segi untungruginya.
Selanjutnya, dilakukan pengambilan keputusan memilih alternatif yang dipandang
paling mungkin (feasible)
dan menguntumgkan.
d)
Mengadakan
pengujian alternative pemecahan yang dipilih.
Dari hasil pelaksanaan itu, diperoleh informasi untuk membuktikan benar
atau tidaknya hipotesis yang telah dirumuskan.
Dengan demikian proses belajar yang tertinggi ini hanya mungkin dapat
berlangsung kalau proses-proses belajar fundamentalis lainnya telah dimiliki
dan dikuasai. Kepada anak didik hendaknya:
a.
Diberikan
stimulus (rangsangan) yang dapat menimbulkan situasi bermasalah dalam diri anak
didik.
b.
Diberikan
kesempatan untuk berlatih mencari alternative pemecahannya.
c.
Diberikan
kesempatan untuk berlatih melaksanakanpemecahan dan pembuktiannya.
Dengan
proses pengindentifikasian entering
behavior seperti dijelaskan di atas,
guru akan dapat mengindentifikasi tahap belajar atau tipe belajar yang telah
dijalaninya. Atas dasar itu, guru dapat memilih alternatif strategi
pengorganisasian bahan dan kegiatan belajar mengajar.
7. Memilih Pendekatan Belajar Mengajar
Para ahli teori belajar telah mencoba
mengembangkan berbagai pendekatan atau sistem pengajaran atau proses belajar
mengajar sebagai berikut:
a. Enquiry Discovery Learning
Dalam sistem belajar mengajar ini, guru
tidak menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk final, tetapi anak didik diberi
peluang untuk mencari dan menemukan sendiri dengan mempergunakan tehnik
pendekatan pemecahan masalah. Secara garis besar, prosedurnya adalah:
1.
Simulation. Guru memulai
proses belajar mengajar dengan bertanya, mengajukan persoalan, atau menyuruh
peserta didik membaca atau mendengarkan uraian yang memuat permasalahan.
2. Problem Statement. Anak didik yang diberi kesempatan mengidentifikasikan
berbagai permasalahan, sebagian besar memilihnya yang dipandang paling menarik
dan fleksibel untuk dipecahkan, selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
atau hipotesis( jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan).
3. Data collection (mengumpulkan data). Untuk menjawab pertanyaan atau
membuktikan benar tidaknya hipotesis ini, siswa diberi kesempatan untuk
mengumpulkan berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati
objek, melakukan wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri, dan
sebagainya
4. Data processing ( mengolah data ). Semua informasi hasil bacaan,
wawancara, diolah, diobservasi, serta diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila
perlu dihitung dengan cara tertentu.
5. Verification. Berdasarkan hasil pengolalahan informasi yang ada,
pertanyaan, atau hipotesis terdahulu dicek, apakah terbukti atau tidak.
6. Generalation. Tahap selanjutnya berdasarkan hasil vertifikasi tadi,
siswa belajar menarik kesimpulan atau generalisasi tertentu.
Sistem belajar yang dikembangkan Burner
ini menggunakan landasan pemikiran belajar mengajar. Hasil belajar dengan
sistem ini lebih mudah dihafal dan diingat, mudah ditransfer untuk memecahkan
masalah.
Pendekatan belajar mengajar ini sangat
cocok untuk materi pelajaran yang bersifat kognitif. Kelemahannya adalah
memakan waktu yang cukup banyak, dan kalau kurang terpimpin atau kurang terarah
dapat menjurus kepada kekacauan dan kekaburan atas materi yang dipelajari.
b. Ekspository Learning
Dalam sistem ini, guru menyajikan bahan
pelajaran dalam bentuk yang telah dipersiapkan secara rapi, sistematis, dan
lengkap sehingga anak didik hanya menyimak dan mencernanya saja secara tertib
dan teratur. Secara garis besar, prosedur ini adalah:
1.
Preparasi. Guru
menyiapkan bahan selengkapnya secara sistematis dan rapi.
2. Apersepsi. Guru bertanya atau memberikan uraian singkat untuk
mengarahkan perhatian anak didik kepada materi yang akan diajarkan.
3. Presentasi. Guru menyajikan bahan dengan cara memberikan ceramah
atau menyuruh siswa membaca bahan yang telah disiapkan dari buku teks tertentu
atau yag ditulis guru sendiri.
4. Resitasi. Guru bertanya dan anak didik menjawab sesuai dengan
bahan yang dipelajari, atau anak didik disuruh menyatakan kembali dengan
kata-kata sendiri tentang pokok masalah-masalah yang telah dipelajari, baik
yang dipelajari secara tulisan maupun lisan.
Keuggulan strategi pembelajaran ekspositori, antara lain:
-
Lebih mudah
mengontrol urutan dan keluasan materi pelajaran, sehingga dapat mengetahui
sampai sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang disampaikan.
-
SPE sangat efektif, bila materi pelajaran cukup luas
sementara waktu terbatas.
-
Melalui SPE selain siswa dapat mendengar suatu materi
pelajaran , juga dapat melihat atau mengobservasi ( melalui demonstrasi ).
-
SPE bisa digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas
yang besar.
Sedangkan kelemahan strategi
pembelajaran ekspositori adalah sebagai berikut:
-
SPE hanya mungkin dapat dilakukan terhadap siswa yang
memiliki kemampuan mendengar dan menyimak secara baik.
-
SPE tidak dapat melayani perbedaan setiap individu.
-
Karena SPE memberikan materi melalui ceramah maka akan
sulit mengembangkan kemampuan siswa dalam hal kemampuan sosialisasi, hubungan
internasional, serta kemampuan berpikir kritis.
-
Keberhasilan SPE sangat tercapai kepada yang dimiliki
guru.
c. Mastery Learning
Salah satu cara untuk mengadaptasi
keberagaman belajar adalah dengan melakukan apa yang disebut dengan mastery
learning yaitu sebuah sistem pembelajaran yang menekankan pada perolehan tujuan
pembelajaran oleh semua siswa dengan memberikan kebebasan atau variasi waktu.
Konsep dasar dari mastery learning
adalah membantu semua atau kebanyakan peserta didik untuk menguasai
keterampilan khusus yang level penguasaanya telah ditetapkan sebelumnya,
sebelum peserta didik melanjutkan ke keterampilan selanjutnya.
Permasalahan yang biasanya muncul dalam
mastery learning adalah bagaimana cara memberikan waktu tambahan untuk
pembelajaran. Dalam beberapa penelitian mastery learning, waktu tambahan untuk
pembelajaran ini diberikan seusai jam pelajaran yang ditetapkan dan ada juga
alternatif yang dapat dipakai untuk menambah jam pelajaran selama waktu
pembelajaran. Setiap siswa diwajibkan melewati fase mastery criterion yaitu
tingkatan standart tertentu yang harus dimiliki oleh setiap siswa. Siswa yang
gagal memenuhi standart tersebut nantinya akan diberikan corrective instruction
yaitu pemebelajaran yang diberikan kepada siswa yang gagal menguasai atau
memenuhi tujuan pembelajaran. Pembelajaran ini bertujuan meningkatkan
penguasaan siswa pada tujuan pembelajaran tersebut sehingga ia dapat mencapai
standart yang telah ditetapkan.
Block dan Anderson dalam Slavin (1994) ,
mengembangkan model mastery learning sebagai berikut:
ü Melakukan
orientasi ke penguasaan tugas belajar (mastery leaarning),
ü Menyampaikan
materi pelajaran,
ü Memberikan kuis
formatif (evaluasi yang dilakukan untuk menentukan apakah perlu dilakukan pembelajaran
tambahan atau tidak),
ü Memberikan
corrective instruction (untuk yang belum mencapai taraf penguasaan tertentu
berdasarkan hasil kuis formatif yang sudah dilakukan) atau enrichment
activities (untuk yang sudah mencapai taraf penguasaan yang ditetapkan),
ü Memberikan kuis
sumatif (tes akhir dari tujuan pembelajaran).
Hasil-hasil penelitian tentang mastery learning
menunjukkan bahwa:
-
Mastery learning dapat menjadi efektif bila ada waktu di
luar waktu pembelajaran.
-
Mastery learning dapat membantu guru untuk dapat
mengetahui tujuan pembelajaran dengan lebih jelas, penilaian yang terus
menerus, dan modifikasi pembelajaranberdasarkan kemajuan belajar.
-
Mastery learning akan menjadi lebih efektif bila
diajarkan untuk level yang lebih tinggi dari keterampilan yang disajikan.
d. Humanistic
Education
Teori belajar ini menitikberatkan pada
upaya membantu siswa agar ia sanggup mencapai perwujudan diri (self realization) sesuai dengan
kemampuan dasar dan keunikan yang dimilikinya. Karakteristik utama metode ini,
antara lain bahwa guru hendaknya tidak membuat jarak yang tidak terlalu tajam
dengan siswa. Sasaran akhir dari proses belajar mengajar menurut paham ini
ialah self actualization yang
seoptimal mungkin dari setiap siswa.
8. Pengorganisasian satuan kelompok belajar siswa
Gagne dan Barliner
(1975:447-450), juga Norman MacKenzie dan rekan-rekannya (UNESCO,1972:126)
menyarankan pengorganisasian kelompok belajar siswa ke dalam susunan sebagai
berikut:
ü N=1. Pada situasi ekstrem, kelompok belajar mungkin hanya terdiri atas
seorang siswa atau seorang siswa bekerja individual saja.metode belajarnya bisa
disebut dengan tutorial, pengajaran berprogram, studi individual, atau independent
study,
ü N=2-20. Kelompok belajar kecil, mungkin terdiri atas 2 sampai 20 siswa. Metode
belajar seperti ini biasanya disebut dengan metode diskusi atau seminar.
ü N=2-40. Kelompok besar mungkin berkisar antar 20-40 siswa. Metode ini
disebut metode belajar mengajar kelas. Metodenya mungkin bervariasi, sesuai
dengan kesenangan dan kemampuan guru unuk mengelolanya.
ü N=40 lebih besar atau ukuran kelompok melebihi 40 orang. Metode belajar-mengajar
lazim disebut (ceramah) atau the lecture.
C.
Implementasi Belajar Mengajar
Proses belajar mengajar adalah suatu
aspek dari lingkungan sekolah yang diorganisasi. Lingkungan ini diatur serta
diawasi agar kegiatan belajar terarah sesuai dengan tujuan pendidikan.
Pengawasan itu turut menentukan lingkungan dalam membantu kegiatan belajar
mengajar untuk menciptakan suasana belajar yang efektif dan efisien serta
menyenangkan. Salah satu faktor yang mendukung kondisi belajar di kelas adalah
job description proses belajar mengajar yang berisi serangkaian pengertian
peristiwa belajar yang dilakukan oleh kelompok-kelompok siswa. Sehubungan
dengan hal ini, job description guru dalam implementasi proses belajar mengajar
adalah:
1.
Perencanaan instruksional, yaitu alat
atau media untuk mengarahkan kegiatan-kegiatan organisasi belajar.
2. Organisasi
belajar yang merupakan usaha menciptakan wadah dan fasilitas-fasilitas atau
lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan yang mengandung kemungkinan terciptanya
proses belajar mengajar.Penggerak atau motivasi bagi peserta didik.
3. Menggerakkan
anak didik yang merupakan usaha memancing, membangkitkan, dan mengarahkan
motivasi belajar siswa. Penggerak atau motivasi di sini pada dasamya mempunyai
makna lebih dari pemerintah, mengarahkan, mengaktualkan dan memimpin.
4. Supervisi
dan pengawasan, yakni usaha mengawasi, menunjang, membantu, menugaskan, dan
mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan perencanaan instruksional
yang telah didesain sebelumnya.
5. Penelitian
yang lebih bersifat penafsiran (assessment) yang mengandung pengertian yang
lebih luas dibanding dengan pengukuran atau evaluasi pendidikan.
Sedangkan upaya-upaya yang diusahakan
untuk menganalisis proses pengelolaan belajar mengajar meliputi:
a. Perencanaan
a)
Menetapkan apa yang mau dilakukan,
kapan dan bagaimana cara melakukannya.
b)
Membatasi sasaran dan menetapkan
pelaksanaan kerja untuk mencapai hasil yang maksimal melalui proses penentuan
terget
c)
Mengambangkan altematif-altematif.
d)
Mengumpulkan dan menganalisis
informasi.
e) Mempersiapkan
dan mengkomunikasikan rencana-rencana dan keputusan-keputusan.
b. Pengorganisasian
a)
Menyediakan fasilitas, perlengkapan,
dan tenaga kerja yang diperlukan untuk menyusun kerangka yang efisien dalam
melaksanakan rencana-rencana melalui suatu proses penetapan kerja yg diperlukan
untuk menyelesaikan.
b)
Pengelompokkan komponen kerja ke
dalam struktur organisasi secara teratur.
c)
Membentuk struktur wewenang dan
mekanisme koordinasi.
d)
Merumuskan, menetapkan metode, dan
prosedur.
e)
Memilih, mengadakan latihan dan
pendidikan tenaga kerja serta mencari sumber lain yg diperlukan.
c. Pengarahan
a)
Menyusun kerangka waktu dan biaya
secara terperinci;
b)
Memprakarsai dan menampilkan
kepemimpinan dalam melaksanakan rencana dan pengambilan keputusan.
c)
Mengeluarkan instruksi-instruksi
yang spesifik.
d)
Membimbing, memotivasi dan melakukan
supervisi.
d. Pengawasan
a)
Mengevaluasi pelaksanaan kegiatan,
dibandingkan dengan rencana.
b)
Melaporkan penyimpanan untuk
tindakan koreksi dan merumuskan tindakan koreksi, menyusun standar-standar dan
saran-saran.
c)
Menilai pekerjaan dan melakukan
tindakan koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan.
D.
Belajar Mengajar Sebagai Suatu Sistem
Sistem adalah suatu kesatuan yang
terdiri atas komponen-komponen yang terpadu dan berproses untuk mencapai tujuan
(Gordon, 1990 ; Puxty, 1990). Proses belajar-mengajar sebagai suatu sistem yang komponen-komponennya terdiri atas : 1)
Siswa, 2) Guru, 3) Tujuan, 4) Materi, 5) Metode, 6) Sarana atau Alat, 7) Evaluasi, dan 8) Lingkungan.
Masing-masing komponen itu sebagai bagian yang berdiri sendiri-sendiri,
namun dalam berproses di kesatuan sistem mereka saling bergantung dan bersama-sama untuk
mencapai tujuan. Masing-masing komponen sistem proses
belajar-mengajar itu sedikit diulas seperti paparan berikut ini.
1.
Siswa
Teori didaktik metodik telah bergeser dalam menempatkan siswa sebagai komponen
proses belajar-mengajar (PBM). Siswa yang semula dipandang sebagai objek
Pendidikan bergeser sebagai subjek Pendidikan. Sebagai subjek, siswa adalah
kunci dari semua pelaksanaan Pendidikan. Tiada Pendidikan tanpa anak didik.
Untuk itu, siswa harus dipahami dan dilayani sesuai dengan hak-hak dan
tanggungjawabnya sebagai siswa. Siswa adalah individu yang unik. Mereka
merupakan kesatuan psiko-fisis yang secara sosiologis berinteraksi dengan teman
sebaya, guru, pengelola sekolah, pegawai administrasi, dan masyarakat pada
umumnya. Mereka dating ke sekolah telah membawa potensi psikologis dan latar
belakang kehidupan social. Masing-masing memiliki potensi dan kemampuan yang
berbeda. Potensi dan kemampuan inilah yang harus dikembangkan oleh guru di
sekolah.
2.
Guru
Guru adalah sebuah profesi. Oleh sebab itu, pelaksanaan tugas guru harus
profesional. Walaupun seorang guru sebagai individu memiliki kebutuhan pribadi
dan memiliki keunikan tersendiri sebagai pribadi, namun guru mengemban tugas
mengantarkan anak didiknya mencapai tujuan. Untuk itu, guru harus menguasai
seperangkat kemampuan yang disebut kompetensi guru. Oleh sebab itu, tidak semua
orang bisa menjadi guru yang profesional. Kompetensi guru itu mencakup
menguasai siswa, menguasai tujuan, menguasai metode pembelajaran, menguasai
materi, menguasai cara mengevaluasi, menguasai alat pembelajaran, dan menguasai
lingkungan belajar.
3.
Tujuan
Tujuan yang harus dipahami oleh guru meliputi tujuan berjenjang mulai dari
tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan umum
pembelajaran, sampai tujuan khusu pembelajaran. Proses belajar-mengajar tanpa
tujuan bagaikan hidup tanpa arah. Oleh sebab itu, tujuan pendidikan secara
keseluruhan harus dikuasai oleh guru. Tujuan disusun berdasarkan ciri karakteristik
anak dan arah yang ingin dicapai.
4.
Materi
Materi pembelajaran dalam arti luas tidak hanya yang tertuang dalam buku paket
yang diwajibkan, akan tetapi mencakup keseluruhan materi pembelajaran. Setiap
aktivitas belajar-mengajar pasti harus ada materinya. Anak yang sedang
field-trip di kebun raya menggunakan materi jenis tumbuhan dan klasifikasinya.
Anak yang praktikum di laboratorium menggunakan materi simbiose katak. Semua
materi pembelajaran harus diorganisasikan secara sistematis agar mudah dipahami
oleh anak. Materi disusun berdasarkan tujuan dan karakteristik siswa.
5.
Metode
Metode mengajar adalah cara atau teknik penyampaian materi pembelajaran yang
harus dikuasai oleh guru. Metode mengajar ditetapkan berdasarkan tujuan dan
materi pembelajaran, serta karakteristik anak.
6.
Sarana
atau Alat
Agar materi pembelajaran lebih mudah
dipahami oleh siswa, maka dalam proses belajar-mengajar digunakan alat
pembelajaran. Alat pembelajaran dapat berupa benda yang sesungguhnya, imitasi
atau tiruan, gambar, bagan, grafik, tabulasi dan sebagainya yang dituangkan
dalam media. Media itu dapat berupa alat elektronik, alat cetak, dan tiruan.
Menggunakan sarana atau alat pembelajaran harus disesuaikan dengan tujuan,
anak, materi dan metode pembelajaran.
7.
Evaluasi
Evaluasi dapat digunakan untuk menyusun gradasi kemampuan anak didik, sehingga
ada penanda simbolik yang dilaporkan kepada semua pihak. Evaluasi dilaksanakan
secara komprehensif, objektif, kooperatif, dan efektif. Evaluasi dilaksanakan
berpedoman pada tujuan dan materi pembelajaran.
8.
Lingkungan
Lingkungan pembelajaran merupakan komponen PBM yang sangat penting demi
suksesnya belajar siswa. Lingkungan ini mencakup lingkungan fisik, lingkungan
sosial, lingkungan alam, dan lingkungan psikologis pada waktu PBM berlangsung.
Semua
komponen PBM itu harus dikelola sedemikian rupa sehingga belajar anak dapat
maksimal untuk mencapai hasil yang maksimal pula.
Merupakan
seperangkat komponen yang saling bergantung satu sama lain untuk mencapai
tujuan. Meliputi komponen: tujuan, bahan, siswa, guru, metode, situasi, dan
evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA
Soetopo, Hendyat. 2005. Pendidikan dan Pembelajaran : Teori, Permasalahan, dan Praktek.
Malang : UMM Press.
Syaiful Bahri Djamarah dan
Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar. PT Rineka Cipta, Jakarta,
Cet.IV. 2010