Kamis, 19 Februari 2015

TUGAS 1 KEPEMIMPINAN



SITI NURLAELA
8105123348
Pendidikan Administrasi Perkantoran Reguler 2012
KEPEMIMPINAN

1.             Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya.

2.             Tiga aliran teori tentang gaya kepemimpinan
1) Teori Genetis (Keturunan)
Inti dari teori ini menyatakan bahwa “Leader are born and not made” (pemimpin itu dilahirkan (bakat) bukannya dibuat). Seorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan dengan bakat kepemimpinan. Dalam keadaan apapun seseorang ditempatkan pada suatu waktu ia akan menjadi pemimpin karena ia dilahirkan untuk itu. Artinya takdir telah menetapkan ia menjadi pemimpin. Pemimpin tipe ini merupakan pemimpin yang sudah memiliki bakat di dalam dirinya jiwa memimpin. Tanpa memerlukan pembelajaran kepemimpinan, seseorang ini memiliki jiwa kepemimpinan yang dimiliki dirinya yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.
2) Teori Sosial
Inti aliran teori sosial ini ialah bahwa “Leader are made and not born” (pemimpin itu dibuat atau dididik bukannya kodrati). Jadi teori ini merupakan kebalikan inti teori genetika. Para penganut teori ini berpendapat bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup. Selain itu seseorang perlu diberikan kesempatan untuk mengeksplor jiwa kepemimpinan yang belum terasah.
3) Teori Ekologis
Teori ekologis ini pada intinya berarti bahwa seseorang hanya akan berhasil menjadi pemimpin yang baik apabila ia telah memiliki bakat kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkannya untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang memang telah dimilikinya. Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori terdahulu sehingga dapat dikatakan merupakan teori yang paling mendekati kebenaran.

3.             Menurut Hadari Nawawi, secara operasional dapat dibedakan lima fungsi pokok kepemimpinan, yaitu:
1. Fungsi Instruktif.
Pemimpin berfungsi sebagai komunikator yang menentukan apa (isi perintah), bagaimana (cara mengerjakan perintah), bilamana (waktu memulai, melaksanakan dan melaporkan hasilnya), dan dimana (tempat mengerjakan perintah) agar keputusan dapat diwujudkan secara efektif. Sehingga fungsi orang yang dipimpin hanyalah melaksanakan perintah. Pemimpin bertugas untuk memberikan instruksi kepada bawahan.
2. Fungsi konsultatif.
Pemimpin dapat menggunakan fungsi konsultatif sebagai komunikasi dua arah. Hal tersebut digunakan manakala pemimpin dalam usaha menetapkan keputusan yang memerlukan bahan pertimbangan dan berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin tak selamanya bertindak sebagai atasan, karena ia perlu berbagi informasi dan lainnya terhadap bawahan begitupun sebaliknya.
3. Fungsi Partisipasi.
Dalam menjalankan fungsi partisipasi pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam melaksanakannya. Setiap anggota kelompok memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam melaksanakan kegiatan yang dijabarkan dari tugas-tugas pokok, sesuai dengan posisi masing-masing. Dalam menjalankan visi yang dimiliki organisasi, pemimpin membagi tugas kepada anggotanya agar saling beriringan untuk mencapai tujuan organisasi.
4. Fungsi Delegasi
Dalam menjalankan fungsi delegasi, pemimpin memberikan pelimpahan wewenang membuat atau menetapkan keputusan. Fungsi delegasi sebenarnya adalah kepercayaan seorang pemimpin kepada orang yang diberi kepercayaan untuk pelimpahan wewenang dengan melaksanakannya secara bertanggungjawab. Fungsi pendelegasian ini, harus diwujudkan karena kemajuan dan perkembangan kelompok tidak mungkin diwujudkan oleh seorang pemimpin seorang diri.
5. Fungsi Pengendalian.
Fungsi pengendalian berasumsi bahwa kepemimpinan yang efektif harus mampu mengatur aktivitas anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif, sehingga memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal. Dalam melaksanakan fungsi pengendalian, pemimpin dapat mewujudkan melalui kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi, dan pengawasan.

4.             Kepemimpinan Visioner
Pemimipin visioner adalah pemimpin yang mempunyai suatu pandangan visi misi yang jelas dalam organisasi, pemimpin visioner sangatlah cerdas dalam megamati suatu kejadian di masa depan dan dapat menggambarkan visi misinya dengan jelas. Dia dapat membangkitkan semangat para anggotanya dengan menggunakan motivasinya serta imajinanasinya, untuk membuat suatu organisasi lebih hidup, menggerakan semua komponen yang ada dalam organisasi, agar organisasi dapat berkembang.

Karakteristik Pemimpin Visioner
Kepemimpinan visioner memiliki ciri-ciri yang menggambarkan segala sikap dan perilakunya yang menunjukkan kepemimpinannya yang berorientasi kepada pencapaian visi, jauh memandang ke depan dan terbiasa menghadapi segala tantangan dan ressiko. Diantara cirri-ciri utama kepemimpinan visioner adalah:
1.      Berwawasan ke masa depan : pemimpin visoner mempunyai pandangan yang jelas terhadap suatu visi yang ingin dicapai, agar organisasi yang dia masuki dapat berkembang. Sesuai dengan visi yang ingin dia capai
2.      Berani bertindak dalam meraih tujuan, penuh percaya diri, tidak peragu dan selalu siap menghadapi resiko. Pada saat yang bersamaan, pemimpin visioner juga menunjukkan perhitungan yang cermat, teliti dan akurat. Dalam memperhitungkan kejadian yang dianggapnya penting
3.      Mampu menggalang orang lain untuk kerja keras dan kerjasama dalam menggapai tujuan. Pemimpin visioner adalah sosok pemimpin yang patut dicontoh, dia mau membuat contoh agar masyarakat sekitar mencontoh dia
4.      Mampu merumuskan visi yang jelas, inspirasional dan menggugah, mengelola ‘mimpi’ menjadi kenyataan : pemimpin visioner sangatlah orang yang mempunyai komitmen yang kuat terhadap visi diembannya, dia ingin mewujudkan visinya ke dalam suatu organisasi yang dia masuki.
5.      Mampu mengubah visi ke dalam aksi : dia dapat merumuskan visi kedalam misinya yang selanjutnya dapat diserap anggota organisasi. Yang dapat menjadikan bahan acuan dalam setiap melangkah ke depan
6.      Berpegang erat kepada nilai-niliai spiritual yang diyakininya : pemimpin visioner sangatlah profesionalitas terhadap apa yang diyakini, seperti nilai–nilai luhur yang ada di bangsa ini. Dia sosok pemimpin yang bisa dijadikan contoh
7.      Membangun hubungan (relationship) secara efektif : pemimpin visioner sangatlah pandai dalam membangun hubungan antar anggota, dalam hal memotivasi, memberi, membuat anggotanya lebih maju dan mandiri. Secara tidak langsung hubungan itu akan terjalin  dengan sendirinya. Dia juga tidak malu–malu dalam member reward dan punnisment terhadap anggotanya, tingkat integritasnya sangatlah tinggi
8.      Innovative dan proaktif : dalam berfikir pemimpin visioner sangatlah kreatif dia mengubah berfikir konvesional menjadi paradigma baru, dia sangatlah sosok pemimpin yang kreatif dan aktif. Dia selalu mengamati langkah–langkah ke depan dan isu–isu terbaru tentang organisasi/instasi.

5.             Untuk menjadikan kepemimpinan yang kuat diperlukan sumber-sumber kekuatan yang ada dan dimiliki setiap pribadi.
1.      Kekuatan Kepribadian
Untuk memahami potensi kekuatan kepribadian anda, perlu untuk mengerti dua sumber utama lainnya, kekuatan peran dan kekuatan pengetahuan. Gambaran di bawah ini memberikan bagian terbesar kepada kekuatan kepribadian, tetapi akan salah untuk meremehkan kemungkinan kekuatan dari dua yang lainnya.
2.      Kekuatan Peran
Kekuatan peran berasal dan kedudukan yang anda pegang. mi bukan kekuatan yang datang dan pengetahuan atau pengalaman. Ia juga bukan kekuatan yang datang dan sifat-sifat kepribadian anda. Kekuatan peran berhubungan dengan kedudukan anda lepas dan siapa yang mendudukinya. Saat seseorang dinaikkan dalam peran seorang penyelia, ia mendapatkan kekuatan. Kita semua sudah melihat penyalahgunaan kekuatan peran, bahkan path tingkat yang terendah sekali pun.
3.      Kekuatan Pengetahuan
Kekuatan pengetahuan berasal dan pengertian akan keterampilan dan teknik yang diperlukan untuk perilaku efektif dalam suatu peran tertentu. Karena masyarakat kita menjadi makin teknis dan peran menjadi makin dispesialisasikan, kekuatan pengetahuan menjadi makin penting.

6.             Tipe & Gaya Kepemimpinan
1)      Otorite/Authoritarian
Otoriter / Authoritarian adalah gaya pemimpin yang memusatkan segala keputusan dan kebijakan yang diambil dari dirinya sendiri secara penuh. Segala pembagian tugas dan tanggung jawab dipegang oleh si pemimpin yang otoriter tersebut, sedangkan para bawahan hanya melaksanakan tugas yang telah diberikan. Kepemimpinan otokratis memiliki ciri-ciri antara lain: (1) mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan mutlak yang harus dipatuhi, (2) pemimpinnya selalu berperan sebagai pemain tunggal, (3) berambisi untuk merajai situasi, (4) setiap perintah dan kebijakan selalu ditetapkan sendiri, (5) bawahan tidak pernah diberi informasi yang mendetail tentang rencana dan tindakan yang akan dilakukan, (6) semua pujian dan kritik terhadap segenap anak buah diberikan atas pertimbangan pribadi, (7) adanya sikap eksklusivisme, (8) selalu ingin berkuasa secara absolut, (9) sikap dan prinsipnya sangat konservatif, kuno, ketat dan kaku, (10) pemimpin ini akan bersikap baik pada bawahan apabila mereka patuh.

2)      Militeristik
Tipe kepemimpinan militeristik ini sangat mirip dengan tipe kepemimpinan otoriter. Adapun sifat-sifat dari tipe kepemimpinan militeristik adalah: (1) lebih banyak menggunakan sistem perintah/komando, keras dan sangat otoriter, kaku dan seringkali kurang bijaksana, (2) menghendaki kepatuhan mutlak dari bawahan, (3) sangat menyenangi formalitas, upacara-upacara ritual dan tanda-tanda kebesaran yang berlebihan, (4) menuntut adanya disiplin yang keras dan kaku dari bawahannya, (5) tidak menghendaki saran, usul, sugesti, dan kritikan-kritikan dari bawahannya, (6) komunikasi hanya berlangsung searah.
3)      Paternalistis
Kepemimpinan paternalistik lebih diidentikkan dengan kepemimpinan yang kebapakan dengan sifat-sifat sebagai berikut: (1) mereka menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak/belum dewasa, atau anak sendiri yang perlu dikembangkan, (2) mereka bersikap terlalu melindungi, (3) mereka jarang memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengambil keputusan sendiri, (4) mereka hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada bawahan untuk berinisiatif, (5) mereka memberikan atau hampir tidak pernah memberikan kesempatan pada pengikut atau bawahan untuk mengembangkan imajinasi dan daya kreativitas mereka sendiri, (6) selalu bersikap maha tahu dan maha benar.

4)      Demokratis
Kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia dan memberikan bimbingan yang efisien kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua bawahan, dengan penekanan pada rasa tanggung jawab internal (pada diri sendiri) dan kerjasama yang baik. kekuatan kepemimpinan demokratis tidak terletak pada pemimpinnya akan tetapi terletak pada partisipasi aktif dari setiap warga kelompok.
Kepemimpinan demokratis menghargai potensi setiap individu, mau mendengarkan nasehat dan sugesti bawahan. Bersedia mengakui keahlian para spesialis dengan bidangnya masing-masing. Mampu memanfaatkan kapasitas setiap anggota seefektif mungkin pada saat-saat dan kondisi yang tepat.
5)      Kharismatis
Tipe kepemimpinan karismatis memiliki kekuatan energi, daya tarik dan pembawaan yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang bisa dipercaya. Kepemimpinan kharismatik dianggap memiliki kekuatan ghaib (supernatural power) dan kemampuan-kemampuan yang superhuman, yang diperolehnya sebagai karunia Yang Maha Kuasa. Kepemimpinan yang kharismatik memiliki inspirasi, keberanian, dan berkeyakinan teguh pada pendirian sendiri. Totalitas kepemimpinan kharismatik memancarkan pengaruh dan daya tarik yang amat besar.

6)      Kontingensional
Model kepemimpinan kontingensi dikembangkan oleh Fielder. Fielder dalam Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1995) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan yang paling sesuai bagi sebuah organisasi bergantung pada situasi di mana pemimpin bekerja.
• Menurut model kepemimpinan ini, terdapat tiga variabel utama yang cenderung menentukan apakah situasi menguntungkan bagi pemimpin atau tidak. Ketiga variabel utama tersebut adalah : hubungan pribadi pemimpin dengan para anggota kelompok (hubungan pemimpin-anggota);
• kadar struktur tugas yang ditugaskan kepada kelompok untuk dilaksanakan (struktur tugas);
• dan kekuasaan dan kewenangan posisi yang dimiliki (kuasa posisi).

7)      Laissez Faire
Pada tipe kepemimpinan ini praktis pemimpin tidak memimpin, dia membiarkan kelompoknya dan setiap orang berbuat semaunya sendiri. Pemimpin tidak berpartisipasi sedikit pun dalam kegiatan kelompoknya. Semua pekerjaan dan tanggung jawab harus dilakukan oleh bawahannya sendiri. Pemimpin hanya berfungsi sebagai simbol, tidak memiliki keterampilan teknis, tidak mempunyai wibawa, tidak bisa mengontrol anak buah, tidak mampu melaksanakan koordinasi kerja, tidak mampu menciptakan suasana kerja yang kooperatif. Kedudukan sebagai pemimpin biasanya diperoleh dengan cara penyogokan, suapan atau karena sistem nepotisme. Oleh karena itu organisasi yang dipimpinnya biasanya morat marit dan kacau balau.
8)      Tipe Kepemimpinan Populistis
Kepemimpinan populis berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat yang tradisonal, tidak mempercayai dukungan kekuatan serta bantuan hutang luar negeri. Kepemimpinan jenis ini mengutamakan penghidupan kembali sikap nasionalisme.
9)      Tipe Kepemimpinan Administratif/Eksekutif
Kepemimpinan tipe administratif ialah kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan tugas-tugas administrasi secara efektif. Pemimpinnya biasanya terdiri dari teknokrat-teknokrat dan administratur-administratur yang mampu menggerakkan dinamika modernisasi dan pembangunan. Oleh karena itu dapat tercipta sistem administrasi dan birokrasi yang efisien dalam pemerintahan. Pada tipe kepemimpinan ini diharapkan adanya perkembangan teknis yaitu teknologi, indutri, manajemen modern dan perkembangan sosial ditengah masyarakat.

http://referensi-kepemimpinan.blogspot.com/2009/03/pengertian-pemimpin.html

Selasa, 17 Februari 2015

KONSEP STRATEGI BELAJAR MENGAJAR



STRATEGI BELAJAR MENGAJAR
KONSEP STRATEGI BELAJAR MENGAJAR



Disusun Oleh:

Arum Wahyuningtias  (8105120474)
Aulia Rachmawati      (8105123285)
Siti Nurlaela                (8105123348)
Zelin Yasti Ningsih     (8105123337)


PENDIDIKAN ADMINISTRASI PERKANTORAN REGULER 2012
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2015
A.    Pengertian Strategi Belajar Mengajar
Secara bahasa strategi dapat diartikan sebagai siasat, kiat, trik, atau cara. Sedangkan secara umum strategi adalah suatu garis besar haluan dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Adapun strategi belajar mengajar dapat diartikan sebagai pola umum kegiatan guru-murid dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. Atau dengan kata lain, strategi belajar mengajar merupakan sejumlah langkah yang direkayasa sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu.
Menurut Mansyur (1991), batasan belajar mengajar yang bersifat umum mempunyai empat dasar strategi, yaitu:
1.      Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku dan kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan.
2.      Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat.
3.      Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru dalam menunaikan kegiatan mengajamya.
4.      Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melakukan evaluasi hasil kegiatan belajar mengajar yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik buat penyempumaan sistem instruksional yang bersangkutan secara keseluruhan.

Dari uraian di atas tergambar bahwa ada empat masalah pokok yang sangat penting yang dapat dan harus dijadikan pedoman buat pelaksanaan kegiatan belajar mengajar agar berhasil sesuai dengan yang diharapkan.
Pertama, spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku yang bagaimana diinginkan sebagai hasil belajar mengajar yang dilakukan itu. Di sini terlihat apa yang dijadikan sebagai sasaran dari kegiatan belajar mengajar. Sasaran yang dituju harus jelas dan terarah. Oleh karena itu, tujuan pengajaran yang dirumuskan harus jelas dan konkret, sehingga mudah dipahami oleh anak didik. Bila tidak, maka kegiatan belajar mengajar tidak punya arah dan tujuan yang pasti. Akibat selanjutnya perubahan yang diharapkan terjadi pada anak didik pun sukar diketahui, karena penyimpangan-penyimpangan dari kegiatan belajar mengajar. Karena itu, rumusan tujuan yang operasional dalam belajar mengajar mutlak dilakukan oleh guru sebelum melakukan tugasnya di sekolah.
Kedua, memilih cara pendekatan belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif untuk mencapai sasaran. Bagaimana cara guru memandang suatu persoalan, konsep, pengertian dan teori apa yang guru gunakan dalam memecahkan suatu kasus, akan mempengaruhi hasilnya. Satu masalah yang dipelajari oleh dua orang dengan pendekatan yang berbeda, akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak sama. Norma-norma sosial seperti baik, benar, adil, dan sebagainya akan melahirkan kesimpulan yang berbeda dan bahkan mungkin bertentangan bila dalam cara pendekatannya menggunakan berbagai disiplin ilmu. Pengertian konsep dan teori ekonomi tentang baik, benar atau adil, tidak sama dengan baik, benar atau adil menurut pengertian konsep dan teori antropologi. Juga akan tidak sama apa yang dikatakan baik, benar atau adiI kalau seseorang guru menggunakan pendekatan agama, karena pengertian konsep dan teori agama mengenai baik, benar atau adil itu jelas berbeda dengan konsep ekonomi maupun antropologi. Begitu juga halnya dengan cara pendekatan yang digunakan terhadap kegiatan belajar mengajar. Belajar menurut Teori Asosiasi, tidak sama dengan pengertian belajar menurut Teori Problem Solving. Suatu topik tertentu dipelajari atau dibahas dengan cara menghapal, akan berbeda hasilnya kalau dipelajari atau dibahas dengan teknik diskusi atau seminar. Juga akan lain hasilnya andaikata topik yang sama dibahas dengan menggunakan kombinasi berbagai teori.
Ketiga, memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif. Metode atau teknik penyajian untuk memotivikasi anak didik agar mampu menerapkan pengetahuan dan pengalamannya untuk memecahkan masalah, berbeda dengan cara atau metode supaya anak didik terdorong dan mampu berpikir bebas dan cukup keberanian untuk mengemukakan pendapatnya sendiri. Perlu dipahami bahwa suatu metode mungkin hanya cocok dipakai untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Jadi dengan sasaran yang berbeda, guru hendaknya jangan menggunakan teknik penyajian yang sama. Bila beberapa tujuan ingin diperoleh, maka guru dituntut untuk memiliki kemampuan tentang penggunaan berbagai metode atau mengombinasikan beberapa metode yang relevan. Cara penyajian yang satu mungkin lebih menekankan kepada peranan anak didik, sementara teknik penyajian yang lain lebih terfokus kepada peranan guru atau alat-alat pengajaran seperti buku, atau mesin komputer misalnya. Ada pula metode yang lebih berhasil bila dipakai buat anak didik dalam jumlah yang terbatas, atau cocok untuk mempelajari materi tertentu. Demikian juga bila kegiatan belajar mengajar berlangsung di dalam kelas, di perpustakaan, di laboratorium, di mesjid, atau di kebun, tentu metode yang diperlukan agar tujuan tercapai. Untuk masing-masing tempat seperti itu tidak sama. Tujuan instruksional yang ingin dicapai tidak selalu tunggal, bisa jadi terdiri dari beberapa tujuan atau sasaran. Untuk itu guru membutuhkan variasi dalam penggunaan teknik penyajian supaya kegiatan belajar mengajar yang berlangsung tidak membosankan.
Keempat, menerapkan norma-norma atau kriteria keberhasilan sehingga guru mempunyai pegangan yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai sampai sejauh mana keberhasilan tugas-tugas yang telah dilakukannya. Suatu program baru bisa diketahui keberhasilannya, setelah dilakukan evaluasi. Sistem penilaian dalam kegiatan belajar mengajar merupakan salah satu strategi yang tidak bisa dipisahkan dengan strategi dasar yang lain.
Apa yang harus dinilai, dan bagaimana penilaian itu harus dilakukan termasuk kemampuan yang harus dimiliki oleh guru. Seorang anak didik dapat dikategorikan sebagai anak didik yang berhasil, bisa dilihat dari berbagai segi. Bisa dilihat dari segi kerajinannya mengikuti tatap muka dengan guru, perilaku sehari-hari di sekolah, hasil ulangan, hubungan sosial, kepemimpinan, prestasi olahraga, keterampilan, dan sebagainya. Atau dapat pula dilihat dari gabungan berbagai aspek.

B.     Klasifikasi Strategi Belajar Mengajar
Menurut Tabrani Rusyan, dkk. terdapat berbagai masalah sehubungan dengan strategi belajar mengajar yang secara keseluruhan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.      Konsep Dasar Strategi Belajar Mengajar
Konsep dasar strategi belajar mengajar meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.       Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku.
b.      Menentukan pilihan berkenaan dengan pendekatan terhadap masalah belajar mengajar.
c.       Memilih prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar.
d.      Menetapkan norma dan kriteria keberhasilan kegiatan belajar mengajar.

2.      Sasaran Kegiatan Belajar Mengajar
Setiap kegiatan belajar mengajar mempunyai sasaran atau tujuan. Tujuan tersebut bertahap dan berjenjang mulai dari yang sangat operasional dan konkret, yakni tujuan instruksional khusus dan tujuan instruksional umum, tujuan kurikuler, tujuan nasional, sampai kepada tujuan yang bersifat universal.
Persepsi guru atau persepsi anak didik mengenai sasaran akhir kegiatan belajar mengajar akan mempengaruhi persepsi mereka terhadap sasaran-antara serta sasaran-kegiatan. Sasaran itu harus diterjemahkan ke dalam ciri-ciri perilaku kepribadian yang didambakan. Pada tingkat sasaran atau tujuan yang universal, manusia yang diidamkan tersebut harus memiliki kualifikasi: a) pengembangan bakat secara opti­mal, b) hubungan antarmanusia, c) efisiensi ekonomi, dan d) tanggung jawab selaku warga negara. Pandangan hidup para guru maupun anak didik akan turut mewamai berkenaan dengan gambaran karakteristik sasaran manusia idaman. Konsekuensinya akan mempengaruhijuga kebijakan tentang perencanaan, pengorganisasian, serta penilaian terhadap kegiatan belajar mengajar,

3.      Belajar Mengajar sebagai Suatu Sistem
Sistem merupakan seperangkat komponen yang saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan. Belajar mengajar dikatakan sebagai suatu sistem berarti bahwa terdapat berbagai komponen yang saling bergantung satu sama lain dalam proses belajar mengajar tersebut, seperti tujuan, bahan, siswa, guru, metode, situasi, dan evaluasi. Agar tujuan tersebut tercapai, maka semua komponen yang ada harus diorganisasikan dengan baik sehingga antara komponen satu dengan komponen lainnya dapat terjalin kerja sama. Karena itu, guru tidak boleh hanya memperhatikan komponen-komponen tertentu saja misalnya metode, bahan, dan evaluasi saja, tetapi ia harus mempertimbangkan komponen secara keseluruhan.
Berbagai persoalan yang biasa dihadapi oleh guru antara lain adalah:
a)      Tujuan-tujuan apa yang mau dicapai.
b)      Materi pelajaran apa yang diperlukan.
c)      Metode, alat mana yang harus dipakai.
d)     Prosedur apa yang akan ditempuh untuk melakukan evaluasi.
Secara khusus dalam proses belajar mengajar guru berperan sebagai pengajar, pembimbing, perantara sekolah dengan masyarakat, administrator, dan lain-lain. Untuk itu wajar bila guru memahami dengan segenap aspek pribadi anak didik seperti:
1)      Kecerdasan dan bakat khusus.
2)      Prestasi sejak permulaan sekolah.
3)      Perkembangan jasmani dan kesehatannya.
4)      Keeenderungan emosi dan karaktemya.
5)      Sikap dan minat belajar.
6)      Cita-cita.
7)      Kebiasaan belajar dan bekerja.
8)      Hobi dan penggunaan waktu senggang.
9)      Hubungan sosial di sekolah dan di rumah.
10)  Latar belakang keluarga.
11)  Lingkungan tempat tinggal.
12)  Sifat-sifat khusus dan kesulitan anak didik.
Usaha untuk memahami anak didik ini bisa dilakukan melalui evauasi. Selain itu, guru mempunyai keharusan melaporkan perkembangan hasil belajar para siswa kepada kepala sekolah, orang tua, dan instansi yang terkait.

4.      Hakikat Proses Belajar Mengajar
Menurut M. Sobry Sutikno dalam bukunya Menuju Pendidikan Bermutu (2004), mengartikan belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yang baru sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Sedangkan menurut C.T. Morgan dalam bukunya Introducing to Psychology (1962) merumuskan belajar sebagai suatu perubahan yang relatif dalam menetapkan tingkah laku sebagai akibat atau hasil dari pengalaman yang baru.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa belajar pada hakikatnya adalah “perubahan” yang terjadi di dalam diri seseorang setelah melakukan aktivitas tertentu. Dalam belajar yang terpenting adalah proses bukan hasil yang diperolehnya. Artinya, belajar harus diperoleh dengan usaha sendiri, adapun orang lain itu hanya sebagai perantara atau penunjang dalam kegiatan belajar agar belajar itu dapat berhasil dengan baik.
Sedangkan mengajar merupakan suatu proses yang kompleks. Tidak hanya sekedar menyampaikan informasi dari guru kepada siswa saja, melainkan banyak kegiatan maupun tindakan yang harus dilakukan (Muhammad Ali, 1992).
Bohar Suharto (1997) mendefinisikan mengajar sebagai suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur (mengelola) lingkungan sehingga tercipta suasana yang sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan peserta didik sehingga terjadi proses belajar yang menyenangkan. Sementara Oemar Hamalik (1992) mendefinisikan mengajar sebagai proses menyampaikan pengetahuan dan kecakapan kepada siswa. Dalam pengertian yang lain, juga dijelaskan bahwa mengajar adalah suatu aktivitas profesional yang memerlukan keterampilan tingkat tinggi dan menyangkut pengambilan keputusan (Davies, 1991).
Jadi dalam keseluruhan proses pendidikan, kegiatan belajar dan mengajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Hal ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar mengajar dirancang dan dijalankan secara profesional. Kegiatan belajar mengajar seperti mengorganisasi pengalaman belajar, mengolah kegiatan belajar mengajar, menilai proses, dan hasil belajar, kesemuanya termasuk dalam cakupan tanggungjawab guru.

5.      Entering Behavior Siswa
Hasil kegiatan belajar mengajar tercermin dalam perubahan perilaku, baik secara material-subtansial, struktural-fungsional, maupun secara behavior. Yang dipersoalkan adalah kepastian bahwa tingkat prestasi yang dicapai siswa itu apakah benar merupakan hasil kegiatan belajar mengajar yang bersangkutan. Untuk kepastiannya seharusnya guru mengetahui tentang karakteristik perilaku anak didik saat mereka mau masuk sekolah dan mulai dengan kegiatan belajar mengajar dilangsungkan, tingkat dan jenis karakteristik perilaku anak didik yang telah dimilikinya ketika mau mengikuti kegiatan belajar mengajar. Itulah yang dimaksudkan dengan entering behavior siswa.
Menurut Abin Syamsudin, entering behavior dapat diidentifikasikan dengan cara:
a.       Secara tradisional, yaitu guru memberikan sejumlah pertaanyaan kepada peserta didik mengenai bahan yang pernah diberikan sebelum menyajikan bahan baru.
b.      Secara inovatif, yaitu guru memberikan pre-test kepada peserta didik sebelum memulai program belajar mengajar.

Gambaran tentang entering behavior ini dapat membantu guru dalam hal-hal sebagai berikut:
a.       Mengetahui seberapa jauh kesamaan individual siswa dalam taraf kesiapannya (readiness), kematangan (maturation), serta tingkat penguasaan (matery) pengetahuan serta keterampilan dasar.
b.      Guru dapat memilih bahan, prosedur, metode, teknik, serta alat bantu belajar mengajar yang sesuai.
c.       Guru dapat mengetahui seberapa jauh dan seberapa banyak perubahan perilaku peserta didik dengan membandingkan nilai pre-test dengan nilai-nilai hasil pasca-test.

Ada tiga dimensi dari entering behavior yang perlu diketahui oleh guru:
a.       Batas-batas ruang lingkup materi pengetahuan yang telah dimiliki dan dikuasai oleh siswa.
b.      Tingkatan tahapan materi pengetahuan, terutama kawasan pola-pola sambutan atau kemampuan yang telah dimiliki siswa.
c.       Kesiapan dan kematangan fungsi-fungsi psikofisik. Sebelum merencanakan dan melaksanakan kegiatan mengajar, guru harus dapat menjawab pertanyaan

6.      Pola-pola Belajar Siswa
Robert M. Gagne membedakan pola-pola belajar siswa ke dalam delapan tipe, di mana yang satu merupakan prasarat bagi lainnya yang lebih tinggi hierarkinya. Tipe-tipe belajar tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Belajar Tipe 1: Signal Learning (Belajar Isyarat)
Belajar tipe ini merupakan tahap yang paling dasar. Sehingga tidak menuntut persyaratan, namun merupakan hierarki yang harus dilalui untuk tipe belajar yang paling tinggi. Signal Learning merupakan proses penguasaan pola-pola dasar perilaku yang bersifat involuntary (tidak sengaja dan tidak disadari tujuannya). Dalam tipe ini melibatkan aspek emosional di dalamnya, seperti diberikannya stimulus (signal) tertentu sehingga peserta didik dapat merespons signal tersebut. Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini telah diberikannya secara serempak dan berulang kali.
b.      Belajar Tipe 2: Stimulus Respons Learning (Belajar Stimulus Respons)
Bila tipe di atas dapat digolongkan dalam jenis classical condition, maka tipe belajar 2 ini termasuk ke dalam instrumental condi­tioning (Kimble-1961) atau belajar dengan trial and error. Menurut Gagne, proses belajar bahasa pada anak-anak merupakan proses yang serupa dengan ini. Dalam tipe belajar ini memerlukan kondisi inforcement. Waktu antara simulus pertama dan berikutnya amat penting. Semakin singkat jarak S-R dengan S-R berikutnya, semakin kuat reinforcementnya.
c.       Belajar Tipe 3: Chaining (Rantai atau Rangkaian)
Chainning adalah belajar menhubungkan satuan ikatan S-R (Stimulus-Respons) yang satu dengan yang lain. Kondisi yang diperlukan dalam berlangsungnya tipe belajar ini antara lain, secara internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Selain itu prinsip kesinambungan , pengulangan, dan reinforcement juga penting. Chainning terjadi bila terbentuk hubungan antara beberapa S-R, sebab yang satu terjadi segera setelah yang satu lagi. Contoh dalam bahasa kita sering menggunakan rangkaian kata seperti selamat-tinggal, kampung-halaman, makan malam, dan sebagainya.
d.      Belajar Tipe 4: Verbal Assosiation (Asosiasi Verba)
Belajar tipe ini setaraf dengan belajar tipe chainning, yaitu sama-sama menghubungkan satuan ikatan S-R yang satu dengan yang lain.
e.       Belajar Tipe 5: Discrimination Learning (Belajar Diskriminasi)
Discrimination learning atau belajar mengadakan pembeda. Dalam tipe ini anak didik mengadakan seleksi dan pengujian di antara dua perangsang atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pola-pola respons yang dianggap paling sesuai. Kondisi utama dalam berlangsungnya proses belajar ini adalah siswa rnempunyai kemahiran melakukan chaining dan association serta pengalaman (pola S-R).

f.       Belajar Tipe 6: Concept Learning (Belajar Konsep)
Concept learning adalah belajar pengertian. Dengan berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari sekumpulan stimulus dan objek-objeknya, maka dapat membentuk suatu pengertian atau konsep, kondisi utama yang diperlukan adalah menguasai kemahiran diskriminasi dan proses kognitif fundamental berikutnya. Proses ini memakan waktu dan berlangsung secara berangsur-angsur.
g.      Belajar Tipe 7: Rule Learning (Belajar Aturan)
Pada tingkat ini, siswa belajar mengadakan kombinasi berbagai konsep dengan rnengoperasikan kaidah-kaidah logika formal (induktif, deduktif, analisis, sintesis, asosiasi, diferensiasi, komparasi, dan kausalitas) sehingga anak didik dapat menemukan kesimpulan tertentu yang mungkin selanjutnya dapat dipandang sebagai aturan: prinsip, dalil, aturan, hukum, kaidah dan sebagainya. Misalnya benda yang dipanaskan memuai, angin berhembus dari daerah maksimum ke daerah minimum, dan sebagainya. Kondisi yang memungkinkan terjadinya proses belajar seperti ini, disarankan:
a)      Kepada anak didik diberitahukan bentuk perbuatan yang diharapkan, kalau yang bersangkutan telah  menjalani proses belajar.
b)      Kepada anak didik diberikan sejumlah pertanyaan yang merangsang,mengingatkan (recall) konsep-konsep yang telah dipelajari dan dimilikinya untuk mengungkapkan perbendaharaan pengetahuannya.
c)      Kepada anak didik mereka diberikan beberapa kata kunci yang menyarankan siswa ke arah pembentukan kaidah tertentu yang diharapkan.
d)     Diberikan kesempatan kepada anak didik untuk mengekspresikan dan menyatakan kaidah tersebut dengan kata-katanya sendiri.
e)      Kepada anak didik diberikan kesempatan selanjutnya untuk menyusun rumusan rule tersebut dalam bentuk statement formal.



h.      Belajar Tipe 8: Problem Solving (Pemecahan Masalah)
Problem solving adalah belajar memecahkan masalah. Pada tingkat ini peserta didik merumuskan dan memecahkan masalah, memberikan respons terhadap rangsangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik, dengan mempergunakan berbagai kaidah yang telah dikuasainya. Menurut John Dewey belajar memecahkan masalah ini berlangsung sebagai berikut: individu menyadari masalah bila dia dihadapkan pada situasi keraguan dan kekaburan sehingga merasakan adanya kesulitan.
a)      Merumuskan dan menegaskan masalah.
Individu melokalisasi letak sumber kesulitan tersebut untuk memungkinkan mencari jalan pemecahannya. Ia menandai aspek mana yang mungkin dipecahkan dengan menggunakan prinsip yang diketahuinya sebagai pegangan.
b)      Mencari fakta pendukung dan merumuskan hipotesis.
Individu menghimpun berbagai informasi yang relevan, termasuk pengalaman orang lain dalam    menghadapi pemecahan masalah yang serupa. Kemudian mengindentifikasi berbagai alternatif (kemungkinan) pemecahannya yang dapat dirumuskan sebagai jawaban sementara.
c)      Mengevaluasi alternatif pemecahan yang dikembangkan.
Setiap alternatif pemecahan ditimbang dari   segi untungruginya. Selanjutnya, dilakukan pengambilan keputusan memilih alternatif yang dipandang paling mungkin (feasible) dan menguntumgkan.
d)     Mengadakan pengujian alternative pemecahan yang dipilih.
Dari hasil pelaksanaan itu, diperoleh informasi untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang telah dirumuskan.
Dengan demikian proses belajar yang tertinggi ini hanya mungkin dapat berlangsung kalau proses-proses belajar fundamentalis lainnya telah dimiliki dan dikuasai. Kepada anak didik hendaknya:
a.       Diberikan stimulus (rangsangan) yang dapat menimbulkan situasi bermasalah dalam diri anak didik.
b.      Diberikan kesempatan untuk berlatih mencari alternative pemecahannya.
c.       Diberikan kesempatan untuk berlatih melaksanakanpemecahan dan pembuktiannya.
Dengan proses pengindentifikasian entering behavior seperti dijelaskan di atas, guru akan dapat mengindentifikasi tahap belajar atau tipe belajar yang telah dijalaninya. Atas dasar itu, guru dapat memilih alternatif strategi pengorganisasian bahan dan kegiatan belajar mengajar.

7.      Memilih Pendekatan Belajar Mengajar
Para ahli teori belajar telah mencoba mengembangkan berbagai pendekatan atau sistem pengajaran atau proses belajar mengajar sebagai berikut:
a.       Enquiry Discovery Learning
Dalam sistem belajar mengajar ini, guru tidak menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk final, tetapi anak didik diberi peluang untuk mencari dan menemukan sendiri dengan mempergunakan tehnik pendekatan pemecahan masalah. Secara garis besar, prosedurnya adalah:
1.       Simulation. Guru memulai proses belajar mengajar dengan bertanya, mengajukan persoalan, atau menyuruh peserta didik membaca atau mendengarkan uraian yang memuat permasalahan.
2.       Problem Statement. Anak didik yang diberi kesempatan mengidentifikasikan berbagai permasalahan, sebagian besar memilihnya yang dipandang paling menarik dan fleksibel untuk dipecahkan, selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan atau hipotesis( jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan).
3.       Data collection (mengumpulkan data). Untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis ini, siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, melakukan wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri, dan sebagainya
4.       Data processing ( mengolah data ). Semua informasi hasil bacaan, wawancara, diolah, diobservasi, serta diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu.
5.       Verification. Berdasarkan hasil pengolalahan informasi yang ada, pertanyaan, atau hipotesis terdahulu dicek, apakah terbukti atau tidak.
6.       Generalation. Tahap selanjutnya berdasarkan hasil vertifikasi tadi, siswa belajar menarik kesimpulan atau generalisasi tertentu.
Sistem belajar yang dikembangkan Burner ini menggunakan landasan pemikiran belajar mengajar. Hasil belajar dengan sistem ini lebih mudah dihafal dan diingat, mudah ditransfer untuk memecahkan masalah.
Pendekatan belajar mengajar ini sangat cocok untuk materi pelajaran yang bersifat kognitif. Kelemahannya adalah memakan waktu yang cukup banyak, dan kalau kurang terpimpin atau kurang terarah dapat menjurus kepada kekacauan dan kekaburan atas materi yang dipelajari.

b.      Ekspository Learning
Dalam sistem ini, guru menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk yang telah dipersiapkan secara rapi, sistematis, dan lengkap sehingga anak didik hanya menyimak dan mencernanya saja secara tertib dan teratur. Secara garis besar, prosedur ini adalah:
1.      Preparasi. Guru menyiapkan bahan selengkapnya secara sistematis dan rapi.
2.      Apersepsi. Guru bertanya atau memberikan uraian singkat untuk mengarahkan perhatian anak didik kepada materi yang akan diajarkan.
3.      Presentasi. Guru menyajikan bahan dengan cara memberikan ceramah atau menyuruh siswa membaca bahan yang telah disiapkan dari buku teks tertentu atau yag ditulis guru sendiri.
4.      Resitasi. Guru bertanya dan anak didik menjawab sesuai dengan bahan yang dipelajari, atau anak didik disuruh menyatakan kembali dengan kata-kata sendiri tentang pokok masalah-masalah yang telah dipelajari, baik yang dipelajari secara tulisan maupun lisan.
Keuggulan strategi pembelajaran ekspositori, antara lain:
-           Lebih mudah mengontrol urutan dan keluasan materi pelajaran, sehingga dapat mengetahui sampai sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang disampaikan.
-          SPE sangat efektif, bila materi pelajaran cukup luas sementara waktu terbatas.
-          Melalui SPE selain siswa dapat mendengar suatu materi pelajaran , juga dapat melihat atau mengobservasi ( melalui demonstrasi ).
-          SPE bisa digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar.
Sedangkan kelemahan strategi pembelajaran ekspositori adalah sebagai berikut:
-          SPE hanya mungkin dapat dilakukan terhadap siswa yang memiliki kemampuan mendengar dan menyimak secara baik.
-          SPE tidak dapat melayani perbedaan setiap individu.
-          Karena SPE memberikan materi melalui ceramah maka akan sulit mengembangkan kemampuan siswa dalam hal kemampuan sosialisasi, hubungan internasional, serta kemampuan berpikir kritis.
-          Keberhasilan SPE sangat tercapai kepada yang dimiliki guru.

c.       Mastery Learning
Salah satu cara untuk mengadaptasi keberagaman belajar adalah dengan melakukan apa yang disebut dengan mastery learning yaitu sebuah sistem pembelajaran yang menekankan pada perolehan tujuan pembelajaran oleh semua siswa dengan memberikan kebebasan atau variasi waktu.
Konsep dasar dari mastery learning adalah membantu semua atau kebanyakan peserta didik untuk menguasai keterampilan khusus yang level penguasaanya telah ditetapkan sebelumnya, sebelum peserta didik melanjutkan ke keterampilan selanjutnya.
Permasalahan yang biasanya muncul dalam mastery learning adalah bagaimana cara memberikan waktu tambahan untuk pembelajaran. Dalam beberapa penelitian mastery learning, waktu tambahan untuk pembelajaran ini diberikan seusai jam pelajaran yang ditetapkan dan ada juga alternatif yang dapat dipakai untuk menambah jam pelajaran selama waktu pembelajaran. Setiap siswa diwajibkan melewati fase mastery criterion yaitu tingkatan standart tertentu yang harus dimiliki oleh setiap siswa. Siswa yang gagal memenuhi standart tersebut nantinya akan diberikan corrective instruction yaitu pemebelajaran yang diberikan kepada siswa yang gagal menguasai atau memenuhi tujuan pembelajaran. Pembelajaran ini bertujuan meningkatkan penguasaan siswa pada tujuan pembelajaran tersebut sehingga ia dapat mencapai standart yang telah ditetapkan.
Block dan Anderson dalam Slavin (1994) , mengembangkan model mastery learning sebagai berikut:
ü  Melakukan orientasi ke penguasaan tugas belajar (mastery leaarning),
ü  Menyampaikan materi pelajaran,
ü  Memberikan kuis formatif (evaluasi yang dilakukan untuk menentukan apakah perlu dilakukan pembelajaran tambahan atau tidak),
ü  Memberikan corrective instruction (untuk yang belum mencapai taraf penguasaan tertentu berdasarkan hasil kuis formatif yang sudah dilakukan) atau enrichment activities (untuk yang sudah mencapai taraf penguasaan yang ditetapkan),
ü  Memberikan kuis sumatif (tes akhir dari tujuan pembelajaran).

Hasil-hasil penelitian tentang mastery learning menunjukkan bahwa:
-          Mastery learning dapat menjadi efektif bila ada waktu di luar waktu pembelajaran.
-          Mastery learning dapat membantu guru untuk dapat mengetahui tujuan pembelajaran dengan lebih jelas, penilaian yang terus menerus, dan modifikasi pembelajaranberdasarkan kemajuan belajar.
-          Mastery learning akan menjadi lebih efektif bila diajarkan untuk level yang lebih tinggi dari keterampilan yang disajikan.

d.      Humanistic Education
Teori belajar ini menitikberatkan pada upaya membantu siswa agar ia sanggup mencapai perwujudan diri (self realization) sesuai dengan kemampuan dasar dan keunikan yang dimilikinya. Karakteristik utama metode ini, antara lain bahwa guru hendaknya tidak membuat jarak yang tidak terlalu tajam dengan siswa. Sasaran akhir dari proses belajar mengajar menurut paham ini ialah self actualization yang seoptimal mungkin dari setiap siswa.

8.      Pengorganisasian satuan kelompok belajar siswa
Gagne dan Barliner (1975:447-450), juga Norman MacKenzie dan rekan-rekannya (UNESCO,1972:126) menyarankan pengorganisasian kelompok belajar siswa ke dalam susunan sebagai berikut:
ü  N=1. Pada situasi ekstrem, kelompok belajar mungkin hanya terdiri atas seorang siswa atau seorang siswa bekerja individual saja.metode belajarnya bisa disebut dengan tutorial, pengajaran berprogram, studi individual, atau independent study,
ü  N=2-20. Kelompok belajar kecil, mungkin terdiri atas 2 sampai 20 siswa. Metode belajar seperti ini biasanya disebut dengan metode diskusi atau seminar.
ü  N=2-40. Kelompok besar mungkin berkisar antar 20-40 siswa. Metode ini disebut metode belajar mengajar kelas. Metodenya mungkin bervariasi, sesuai dengan kesenangan dan kemampuan guru unuk mengelolanya.
ü  N=40 lebih besar atau ukuran kelompok melebihi 40 orang. Metode belajar-mengajar lazim disebut (ceramah) atau the lecture.

C.    Implementasi Belajar Mengajar
Proses belajar mengajar adalah suatu aspek dari lingkungan sekolah yang diorganisasi. Lingkungan ini diatur serta diawasi agar kegiatan belajar terarah sesuai dengan tujuan pendidikan. Pengawasan itu turut menentukan lingkungan dalam membantu kegiatan belajar mengajar untuk menciptakan suasana belajar yang efektif dan efisien serta menyenangkan. Salah satu faktor yang mendukung kondisi belajar di kelas adalah job description proses belajar mengajar yang berisi serangkaian pengertian peristiwa belajar yang dilakukan oleh kelompok-kelompok siswa. Sehubungan dengan hal ini, job description guru dalam implementasi proses belajar mengajar adalah:
1.      Perencanaan instruksional, yaitu alat atau media untuk mengarahkan kegiatan-kegiatan organisasi belajar.
2.      Organisasi belajar yang merupakan usaha menciptakan wadah dan fasilitas-fasilitas atau lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan yang mengandung kemungkinan terciptanya proses belajar mengajar.Penggerak atau motivasi bagi peserta didik.
3.      Menggerakkan anak didik yang merupakan usaha memancing, membangkitkan, dan mengarahkan motivasi belajar siswa. Penggerak atau motivasi di sini pada dasamya mempunyai makna lebih dari pemerintah, mengarahkan, mengaktualkan dan memimpin.
4.      Supervisi dan pengawasan, yakni usaha mengawasi, menunjang, membantu, menugaskan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan perencanaan instruksional yang telah didesain sebelumnya.
5.      Penelitian yang lebih bersifat penafsiran (assessment) yang mengandung pengertian yang lebih luas dibanding dengan pengukuran atau evaluasi pendidikan.
Sedangkan upaya-upaya yang diusahakan untuk menganalisis proses pengelolaan belajar mengajar meliputi:
a.       Perencanaan
a)      Menetapkan apa yang mau dilakukan, kapan dan bagaimana cara melakukannya.
b)      Membatasi sasaran dan menetapkan pelaksanaan kerja untuk mencapai hasil yang maksimal melalui proses penentuan terget
c)      Mengambangkan altematif-altematif.
d)     Mengumpulkan dan menganalisis informasi.
e)      Mempersiapkan dan mengkomunikasikan rencana-rencana dan keputusan-keputusan.

b.      Pengorganisasian
a)        Menyediakan fasilitas, perlengkapan, dan tenaga kerja yang diperlukan untuk menyusun kerangka yang efisien dalam melaksanakan rencana-rencana melalui suatu proses penetapan kerja yg diperlukan untuk menyelesaikan.
b)        Pengelompokkan komponen kerja ke dalam struktur organisasi secara teratur.
c)        Membentuk struktur wewenang dan mekanisme koordinasi.
d)       Merumuskan, menetapkan metode, dan prosedur.
e)        Memilih, mengadakan latihan dan pendidikan tenaga kerja serta mencari sumber lain yg diperlukan.
c.       Pengarahan
a)         Menyusun kerangka waktu dan biaya secara terperinci;
b)        Memprakarsai dan menampilkan kepemimpinan dalam melaksanakan rencana dan pengambilan keputusan.
c)         Mengeluarkan instruksi-instruksi yang spesifik.
d)        Membimbing, memotivasi dan melakukan supervisi.
d.      Pengawasan
a)         Mengevaluasi pelaksanaan kegiatan, dibandingkan dengan rencana.
b)        Melaporkan penyimpanan untuk tindakan koreksi dan merumuskan tindakan koreksi, menyusun standar-standar dan saran-saran.
c)         Menilai pekerjaan dan melakukan tindakan koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan.

D.    Belajar Mengajar Sebagai Suatu Sistem
Sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri atas komponen-komponen yang terpadu dan berproses untuk mencapai tujuan (Gordon, 1990 ; Puxty, 1990). Proses belajar-mengajar sebagai suatu sistem yang komponen-komponennya terdiri atas : 1) Siswa, 2) Guru, 3) Tujuan, 4) Materi, 5) Metode, 6) Sarana atau Alat, 7) Evaluasi, dan 8) Lingkungan.
Masing-masing komponen itu sebagai bagian yang berdiri sendiri-sendiri, namun dalam berproses di kesatuan sistem mereka saling bergantung dan bersama-sama untuk mencapai tujuan. Masing-masing komponen sistem proses belajar-mengajar itu sedikit diulas seperti paparan berikut ini.
1.      Siswa
Teori didaktik metodik telah bergeser dalam menempatkan siswa sebagai komponen proses belajar-mengajar (PBM). Siswa yang semula dipandang sebagai objek Pendidikan bergeser sebagai subjek Pendidikan. Sebagai subjek, siswa adalah kunci dari semua pelaksanaan Pendidikan. Tiada Pendidikan tanpa anak didik. Untuk itu, siswa harus dipahami dan dilayani sesuai dengan hak-hak dan tanggungjawabnya sebagai siswa. Siswa adalah individu yang unik. Mereka merupakan kesatuan psiko-fisis yang secara sosiologis berinteraksi dengan teman sebaya, guru, pengelola sekolah, pegawai administrasi, dan masyarakat pada umumnya. Mereka dating ke sekolah telah membawa potensi psikologis dan latar belakang kehidupan social. Masing-masing memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda. Potensi dan kemampuan inilah yang harus dikembangkan oleh guru di sekolah.
2.      Guru
Guru adalah sebuah profesi. Oleh sebab itu, pelaksanaan tugas guru harus profesional. Walaupun seorang guru sebagai individu memiliki kebutuhan pribadi dan memiliki keunikan tersendiri sebagai pribadi, namun guru mengemban tugas mengantarkan anak didiknya mencapai tujuan. Untuk itu, guru harus menguasai seperangkat kemampuan yang disebut kompetensi guru. Oleh sebab itu, tidak semua orang bisa menjadi guru yang profesional. Kompetensi guru itu mencakup menguasai siswa, menguasai tujuan, menguasai metode pembelajaran, menguasai materi, menguasai cara mengevaluasi, menguasai alat pembelajaran, dan menguasai lingkungan belajar.
3.      Tujuan
Tujuan yang harus dipahami oleh guru meliputi tujuan berjenjang mulai dari tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan umum pembelajaran, sampai tujuan khusu pembelajaran. Proses belajar-mengajar tanpa tujuan bagaikan hidup tanpa arah. Oleh sebab itu, tujuan pendidikan secara keseluruhan harus dikuasai oleh guru. Tujuan disusun berdasarkan ciri karakteristik anak dan arah yang ingin dicapai.
4.      Materi
Materi pembelajaran dalam arti luas tidak hanya yang tertuang dalam buku paket yang diwajibkan, akan tetapi mencakup keseluruhan materi pembelajaran. Setiap aktivitas belajar-mengajar pasti harus ada materinya. Anak yang sedang field-trip di kebun raya menggunakan materi jenis tumbuhan dan klasifikasinya. Anak yang praktikum di laboratorium menggunakan materi simbiose katak. Semua materi pembelajaran harus diorganisasikan secara sistematis agar mudah dipahami oleh anak. Materi disusun berdasarkan tujuan dan karakteristik siswa.
5.      Metode
Metode mengajar adalah cara atau teknik penyampaian materi pembelajaran yang harus dikuasai oleh guru. Metode mengajar ditetapkan berdasarkan tujuan dan materi pembelajaran, serta karakteristik anak.
6.      Sarana atau Alat
Agar materi pembelajaran lebih mudah dipahami oleh siswa, maka dalam proses belajar-mengajar digunakan alat pembelajaran. Alat pembelajaran dapat berupa benda yang sesungguhnya, imitasi atau tiruan, gambar, bagan, grafik, tabulasi dan sebagainya yang dituangkan dalam media. Media itu dapat berupa alat elektronik, alat cetak, dan tiruan. Menggunakan sarana atau alat pembelajaran harus disesuaikan dengan tujuan, anak, materi dan metode pembelajaran.
7.      Evaluasi
Evaluasi dapat digunakan untuk menyusun gradasi kemampuan anak didik, sehingga ada penanda simbolik yang dilaporkan kepada semua pihak. Evaluasi dilaksanakan secara komprehensif, objektif, kooperatif, dan efektif. Evaluasi dilaksanakan berpedoman pada tujuan dan materi pembelajaran.
8.      Lingkungan
Lingkungan pembelajaran merupakan komponen PBM yang sangat penting demi suksesnya belajar siswa. Lingkungan ini mencakup lingkungan fisik, lingkungan sosial, lingkungan alam, dan lingkungan psikologis pada waktu PBM berlangsung.
Semua komponen PBM itu harus dikelola sedemikian rupa sehingga belajar anak dapat maksimal untuk mencapai hasil yang maksimal pula.
Merupakan seperangkat komponen yang saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan. Meliputi komponen: tujuan, bahan, siswa, guru, metode, situasi, dan evaluasi.



DAFTAR PUSTAKA

Atmosphere. KONSEP STRATEGI BELAJAR MENGAJAR DAN  TAHAP-TAHAP MENGAJAR. 24 June 2014. http://ranipurirani.blogspot.com/2014/06/konsep-strategi-belajar-mengajar-dan.html. Diakses pada tanggal 8 Februari 2015 pkl 19.33.

Bina Mandiri. “Pola-pola Belajar Siswa”. 2012. http://binainstitute.blogspot.com/2012/05/pola-pola-belajar-siswa.html. Diakses pada tanggal 10 Februari 2015 pkl 17.05.

Blog HPB. KONSEP STRATEGI BELAJAR MENGAJAR. 19 Desember 2012. http://hanzputra.blogspot.com/2012/12/konsep-strategi-belajar-mengajar.html. Diakses pada tanggal 8 Februari 2015 pkl 20.45.

Media Edukasi. “Pola-Pola Belajar Siswa oleh Gagne”. http://mediaedukasiku.blogspot.com/p/pola-pola-belajar-siswa-oleh-gagne.html. Diakses pada tanggal 10 Februari pkl 16.43.
Soetopo, Hendyat. 2005. Pendidikan dan Pembelajaran : Teori, Permasalahan, dan Praktek. Malang : UMM Press.
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar. PT Rineka Cipta, Jakarta, Cet.IV. 2010